Sabtu, 16 Januari 2010

Wajah Pendidikan Indonesia ( Sebuah refleksi Akhir Tahun 2009 )

Detik – detik menjelang tahun baru 2010 segera menyapa namun banyak pihak yang pesimis bahwa tahun depan akan lebih baik dari tahun ini. Masih ada banyak persoalan yang belum juga kunjung usai. Contoh terdekat yang bisa kita lihat bersama adalah potret buram dalam dunia pendidikan. Mulai dari banyaknya gedung sekolah yang rusak berat hingga roboh, kasus tawuran antar pelajar, maraknya seks bebas dan kasus penggunaan narkoba di kalangan remaja, Gang Nero yang membuat gadis muda laksana preman, depresi pelajar menjelang dan sesudah Ujian Akhir Nasional, para pendidik yang telah kehilangan kredibilitasnya sehingga rela menghalalkan berbagai cara demi mencapai target agar semua anak didiknya lulus ujian. Semua ini adalah sekelumit fakta persoalan dalam dunia pendidikan di negeri kita tercinta.
Menarik sekali analogi yang diberikan oleh seorang pakar pendidikan ketika menyoroti adanya standar kelulusan yang ditentukan dengan hasil Ujian Akhir Nasional. Beliau menyatakan bahwa hal ini ibarat seorang dokter yang telah merawat pasien selama 3 tahun. Namun ketika sang pasien menanyakan perkembangan kondisi kesehatannya dengan diliputi penuh rasa keraguan ia menjawab dengan singkat bahwa yang bisa menyatakan sembuh tidaknya pasiennya adalah departemen kesehatan bukan dirinya selaku dokter yang merawatnya selama ini.
Inilah fakta kondisi guru sekarang yang tidak lagi dipercaya mampu meluluskan anak didiknya. Mereka ibarat robot yang mencetak bagaimana anak didiknya hanya diorientasikan mampu menjawab seluruh soal – soal dalam UAN dengan benar agar mampu mencapai target standar kelulusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Apalagi dengan soal – soal yang berbentuk pilihan ganda adalah bentuk soal yang sangat rawan dengan adanya manipulasi dan tidak mampu menggambarkan kualitas peserta ujian yang sesungguhnya.
Persoalan tampaknya belum selesai di sini karena masih ada masalah asas pendidikan, metode pengajaran, kurikulum pendidikan yang terus berganti seiring bergantinya pemangku kebijakan, biaya pendidikan yang semakin mahal hingga target pendidikan yang semakin tidak jelas arahnya. Berbagai persoalan ini ibarat sebuah gunung ES yang terpendam dan tinggal menunggu waktu untuk mencair.
Jika persoalan di bangku sekolah demikian halnya maka tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di perguruan tinggi. Perguruan Tinggi dihadapkan pada masalah yang tidak kalah pelik yaitu bagaimana menyiapkan lulusan yang benar – benar kompeten dalam dunia usaha sehingga layak jual disemua bidang. Melihat fenomena semakin banyaknya jumlah pengangguran di negeri ini telah memicu semangat juang Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kreatifitasnya. Beberapa Perguruan tinggi mulai merambah dalam Pendidikan Kewirausahaan / entrepreneurship bagi para mahasiswanya. Bahkan ada universitas yang mewajibkan mata kuliah ini disemua program studi yang ada di universitas tersebut.
Ketika kita melihat sekilas solusi yang ditawarkan tersebut seakan mengatasi masalah pengangguran yang semakin menggurita. Namun kita perlu meninjau lebih mendalam akan peran pendidikan yang semestinya menjadi pencetak generasi unggul dalam keimanan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika kita terus membiarkannya maka peran perguruan tinggi adalah tidak lebih dari sekedar pencetak wirausahawan – wirausahawan yang memandang segala sesuatu hanya dengan tinjauan untung rugi semata. Sehingga terbuka peluang pendidikan menjadi sebuah komoditas perdagangan. Mata pelajaranpun diselaraskan dengan tingkat keinginan pasar. Hal ini semakin tampak dengan disahkannya UU BHP (Badan Hukum Pendidikan ) di Perguruan Tinggi. Pergurauan Tinggi menjadi representasi dari bisnis dalam dunia pendidikan yang dibungkus dengan kedok untuk memantapkan kemandirian institusi perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.
Kinerja BHP akan dievaluasi sendiri oleh institusi yang bersangkutan maupun pihak – pihak yang berkepentingan. Bila posisi institusi tersebut memiliki posisi yang strategis secara Internasional maka akan didorong untuk melakukan akreditasi dengan standar Internasional. Sehingga arah pendidikan di institusi tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan internasional. Dengan kata lain arah pendidikan pada institusi skala internasional ini adalah mampu menyelesaikan masalah masyarakat internasional tetapi bukan menyelesaikan masalah krusial dibangsanya sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya pengangkatan isu energi dalam dunia internasional tidaklah tepat karena Indonesia memiliki energi yang melimpah. Sebenarnya ini adalah persoalan negara lain yang tidak punya sumber energi seperti AS.

Akar Masalah
Kenyataan menurunnya kualitas pendidikan sekarang adalah pemicu rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia akibat diterapkannya sistem kapitalis sekuler di semua lini kehidupan masyarakat. Padahal salah satu tujuan pendidikan adalah membentuk sumber daya manusia yang berkualitas, berjati diri ( moral & spiritual), menguasai iptek, berkompeten, mandiri serta berjiwa pemimpin. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kesalahan terletak pada penerapan sistem pendidikan yang dipilih oleh negeri ini.
Indonesia sebagai sebuah negeri dengan penduduknya yang mayoritas muslim maka bukanlah sebuah hal yang aneh ketika menerapkan Sistem Pendidikan Islam sebagi pengganti sistem pendidikan kapitalis – sekuler sekarang. Sejarah telah mencatat adanya sebuah peradaban unggul dan gemilang yang telah ditorehkan oleh kaum muslimin seperti Ibnu Sina, Ibnu Haitsam, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusydi dan masih banyak lagi ilmuwan – ilmuwan lainnya yang karya- karyanya masih terus dipakai hingga saat ini. Mereka tidak hanya ahli pada satu bidang saja tetapi juga alim ulama yang mampu memberikan solusi dari berbagai persoalan yang ada. Masa kegemilangan ini terjadi ketika bangsa Eropa masih berada dalam masa kegelapan / Renaisance.
Karakter dari sistem pendidikan islam adalah berasaskan akidah Islam dengan tujuan membentuk manusia berkualitas bukan individu yang individulis dan materialis seperti sekarang. Pendidikan dalam islam menjadi tanggung jawab pemerintah seutuhnya yang membedakan antara ilmu yang terkait dengan kebudayaan atau pemikiran tertentu (Tsaqofah) dengan ilmu sains yang terkait dengan pengetahuan dan teknologi. Selain itu pendidikan juga ditujukan bagi siapapun dan gratis dengan tidak memandang status sosial, umur dan kemampuan ekonominya. Hal yang tidak kalah penting adalah dalam sistem pendidikan islam tidak berorientasi pada nilai tetapi dengan mengadakan ujian secara lisan untuk mengukur kemampuan anak didik selama menempuh suatu jenjang pendidikan tertentu.
Penerapan satu sistem butuh dukungan sistem yang lain sehingga ketika sistem pendidikan islam telah dipilih maka butuh untuk juga menerapkan sistem yang lain sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam islam yaitu aturan dari sang pencipta dan pengatu alam semesta Allah SWT. Dan kondisi ini tidak akan terwujud tanpa adanya sebuah institusi Negara yang menaunginya dan terbingkai dalam Daulah Khilafah Islamiyah Rosyidah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar